Senin, 08 April 2013

BABEH PEMANGSA ANAK-ANAK JALANAN METROPOLITAN


BABEH PEMANGSA ANAK-ANAK JALANAN METROPOLITAN[1]
oleh : Jatu Esthi Purnaningrum[2]

            “Babeh”, begitu panggilan akrab sosok lelaki paruh baya yang diketahui mempunyai nama asli Baekuni alias Bungkik. Babeh lahir pada tanggal 6 September 1960 di Desa Mranggen, Magelang,, Jawa Tengah[3], yang pada akhirnya memutuskan untuk kabur ke Jakarta karena Babeh kecil sering menjadi bahan ejekan sebagai “si bodho” di kampung halaman. Ia hidup menggelandang di Lapangan Banteng selama tiga tahun. Saat Babeh berusia 12 tahun, ia menjadi korban sodomi[4]. Ia disodomi paksa di bawah todongan pisau oleh seorang preman. Dengan ketakutan, ia menahan rasa sakit. Lima tahun kemudian Babeh kembali ke kampong halaman. Tiba saatnya Babeh mempersunting seorang wanita bernama Neng Erah dan mereka memilih melanjutkan hidup di Jakarta dengan sederhana. Di Jakarta, mereka tinggaldi jalan Kembang  Sepatu, Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Disana ia menjadi seorang pedagang rokok di depan Pulogadung Trade Center.  Tujuh tahun terakhir, namanya “familiar” di kalangan anak-anak pengamen jalanan di daerah Klender, Pulogadung, hingga Cakung, Jakarta Timur. Babeh gagal menunjukkan kejantanannya kepada Neng Erah[5]. Peristiwa tersebut dirasa lebih menyakitkan ketimbang ketika ia menghadapi caci maki Neng Erah sebagai seorang miskin. Sebelum ia gagal di malam pertama dengan Neng Erah, ia masih pria normal. Ia mengatakan, awalnya ia mengatasi hasrat seksualnya dengan mastrubasi, setelah itu ia menjadi pedofili dengan meminta anak-anak melakukan mastrubasi sebelum akhirnya menyodomi korban-korbannya[6]. Babeh mempunyai kelainan seksual, yaitu acap kali mensodomi anak-anak pengamen jalanan sejak ia berada jauh dari isterinya. Dari sifat menyimpangnya tersebut, ia juga membunuh para korban yang telah ia sodomi dengan cara yang mengerikan dan tidak manusiawi, yaitu dengan cara memutilasi para korbannya.. Ini sesuai dengan pernyataan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono, bahwa sepanjang sejarah pengungkapan kasus pembunuhan berantai di Tanah Air, baru kasus inilah yang dinilai “paling mengerikan dengan barang bukti lebih lengkap”[7].
Aksi keji tersebut telah berlangsung selama hampir 17 tahun. Bak pepatah “serapat-rapatnya kita menyembunyikan bangkai, kelak akan tercium juga”. Pepatah tersebut layak untuk mendiskripsikan kisah yang dilalui oleh Babeh. Pasalnya ia telah melakukan perbuatan keji tersebut sejak tahun 1993 dan akhirnya pada tahun 2010 kasus tersebut berhasil diungkap oleh Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono hingga jajaran terbawahnya. Bila dikaitkan dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman maka dapat dilihat pada saat Ajun Komisaris Tahan Marpaung memeriksa Babeh di Polsek Metro Cakung. Tahan diam-diam memperhatikan seluruh bagian tubuh Babeh. Ia melihat di sela kuku jempol kanan Babeh ada bercak darah. Tahan menarik jempol kanan Babeh dan didekatkan ke hidung. Ternyata bercak darah tersebut berasal dari darah salah satu korban Babeh, Ardiansyah. Kemudian Tahan segera memanggil tim Puslabfor (Pusat Laboratorium Forensik) Mabes Polri untuk memeriksa kuku Babeh[8].
Sebelum Babeh mensodomi para korbannya, Babeh mengenali dahulu lingkungan sekitarnya. Dengan teliti ia “menggambar” lingkungan fisik dan lingkungan sosial setempat[9]. Kemudian, mengawali dengan  pertemuan, perkenalan, membujuk para korban untuk bersedia ikut dengannya, memandikannya, mengajak ke tempat yang dirasa sepi atau aman, kemudian mengajak korban untuk “bermain”[10], seluruh korban selalu menolak ajakan “bermain” tersebut hingga akhirnya Babeh memutuskan untuk menghabisi nyawa para korban dengan cara menjerat leher dengan menggunakan seutas tali rafia dan memutilasi menggunakan pisau yang telah ia persiapkan. Babeh mengaku kepada Ajun Komisaris Besar Nico Afinta[11], bahwa telah membunuh 14 anak pengamen jalanan. Korban-korban tersebut adalah Adit (12), Feri (11), Doli (11), Kiki (11), Irwan Imron (12), Teguh alias Ardi (11), Aris (11), Riki (9), Yusuf (7), Adi (12), Rio (12), Arif “Kecil” (7), Ardiansyah (9) dan Teguh Sepudin (13).  Namun Ajun Kombes Nico Afinta merasa belum puas terhadap pengakuan Babeh tersebut, Ia menduga masih terdapat korban Babeh lainnya yang belum terungkap. “Jika hasrat seksualnya secara rutin datang paling lama tiga bulan, maka dalam setahun jumlah korban Babeh bisa empat anak. Dengan pengandaian tersebut, jika Babeh mulai membunuh sejak tahun 1993, maka jumlahnya bisa anda hitung sendiri,” papar Nico[12].  
Sasaran korban Babeh seluruhnya adalah anak-anak pengamen jalanan. Menurut Babeh, para pengamen ini rata-rata putus sekolah dan hidup bebas. Mereka dianggap tidak mempunyai cita-cita lagi selain mengamen untuk menyambung hidup atau membantu mencari nafkah orangtua mereka. Anak-anak pengamen jalanan ini bias dua tiga hari tidak pulang ke rumahtanpa membuat orang tua mereka khawatir. Berbeda dengan anak jalanan penjaja jasa semir sepatu atau penjual Koran. Sebagian mereka bekerja sambil bersekolah. Mereka masih memiliki cita-cita, dan masih diperhatikan oleh orangtua mereka. Babeh tidak memilih anak-anak pengemis, karena anak-anak pengemis hidupnya kotor, jorok dan lebih repot membuat mereka menjadi bersih, pada dasarnya Babeh menyukai anak-anak yang berpenampilan bersih dan tampan[13].
Perjalanan mencari, mengumpulkan jasad dan tulang belulang para korban, merekonstruksi, mengumpulkan laporan polisi setempat dan saksi-saksi, dalah bagian dari penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh polisi. Penyelidikan ilmiah dilakukan untuk mengidentifikasi korban dan membedah kasus secara lebih akurat. Di Jakarta, Babeh diperiksa tiga psikolog dari Mabes Polri, Psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, serta psikolog dan Kriminolog Profesor Ardianus Meliala. Hasilnya, Babeh waras dan bukan psikopat . Dengan demikian, Atas keterangan yang dipaparkan oleh Babeh, saksi-saksi, dan barang bukti yang diperoleh polisi maka beberapa haltersebut mampu untuk meyakinkan majelis hakim. Atas perbuatan keji yang dilakukan oleh Babeh, maka polisi menjerat tersangka dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman maksimal, yaiyu hukuman mati. Di muka pengadilan, para psikolog tersebut dapat dijadikan saksi ahli kasus Babeh[14]. Polisi juga telah mengidentifikasi garis keturunan antara korban dan orangtuanya lewat pemeriksaan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid).
Berulangkali Babeh melakukan perbuatan keji tersebut, ini karena ia merasa aman sehingga ia selalu mengulangi hal yang sama. Aksi ini dirasa sangat kejam, Babeh sudah tidak canggung lagi untuk mengulang perbuatan tersebut karena ia telah terbiasa selama belasan tahun. Babeh diibaratkan sebagai “Pemangsa anak-anak pengamen jalanan metropolitan”. Menurut Meliala[15], kasus Babeh adalah kasusu langka dan berdampak sosial luas[16]. Sedangkan Mardiatmadja[17] berpendapat, bahwa kasus Babeh bias menjadi refleksi bahwa potensi manusia yang berfungsi sosial kerap terperangkap individualism. Dalam individualism, cinta bukan lagi semangat untuk berbagi, tetapi semangat untuk menguasai. ‘cintamu kepadamu adalah hak ku. Jadi kamu tak boleh lepas tanpa mauku,” tutur Mardi[18]. Seto Mulyadi[19] menambahkan, karena akar masalah anak jalanan adalah kemiskinan, maka solusinya adalah mengembangkan pendidikan nonformal dan usaha informal bagi mereka. Pengungkapan kasus Babeh ini, mengingatkan orangtua dan semua orang yang terlibat dalam masalah anak-anak akan mendidik anak-anak dengan cara yang benar. “jika kemudian anak terungkap menjadi korban pedofili (penyuka anak prapubertas sebagai obyek seks) seperti pada kasus Babeh, jangan dimarahi atau dikucilkan. Sebalikknya, bejrilah dia kasih sayang lebih dari biasanya untuk memulihkan trauma yang ia alami,’ papar Sarlito[20].


[1]Tugas ini disusun guna memenuhi nilai Ujian Kompetensi Dasar 1, mata kuliah Ilmu Kedokteran Kehakiman,  dosen Pengampu Bapak Rustam Aji,SH, MH.
[2]Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret      dengan nomor registrasi mahasiswa E0010198.
[3] Windoro Adi & Nico Afinta, 2010. BABEH Duka Anak Jalanan . Arsip Metro. Hlm. 88.
[4] Ibid., Hlm. 3.
[5] Ibid., Hlm. 90.
[6] Ibid., Hlm. 93.
[7] Ibid., Hlm. 1.
[8] Ibid., Hlm. 30.
[9] Ibid., Hlm. 85.
[10] “bermain” = mensodomi
[11] Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan, Direskrimum Polda Metro Jaya.
[12] Ibid., Hlm. 62.
[13] Ibid., Hlm. 85.
[14] Ibid., Hlm. 77.
[15] Kriminolog, Psikolog UI, Prof. Adrianus Meliala.
[16] Ibid., Hlm. 7.
[17] Budayawan dan pendidik Doktor Mardiatmadja, SY.
[18] Ibid., Hlm. 9.
[19] Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak.
[20] Ibid., Hlm. 12.

Rabu, 14 November 2012

PENEGAKAN KODE ETIK HAKIM UNTUK MEWUJUDKAN PENGADILAN YANG BERWIBAWA

PENEGAKAN KODE ETIK HAKIM
UNTUK MEWUJUDKAN PENGADILAN YANG BERWIBAWA
Description: Description: images
Disusun untuk memenuhi tugas UKD 3  mata kuliah Sosiologi Hukum
Kelas C, dosen pengampu: Bapak Mulyanto, SH, MH
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh:
1. Anugrah Fajar N     E0010041/ C
2. Jatu Esthi P             E0010198/ C
3. Novi Dharmawati   E0010254/ C
4. Nur Fadlilah Y S     E0010259/ C
5. Ratih Andriani        E0010289/ C
6. Silvana S M             E0010331/ C
7. Tri Wahyuni            E0010343/ C
8. Vinandita Nur I      E0010347/ C

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Penegakan Kode Etik Hakim untuk Mewujdkan Pengadilan yang Berwibawa”
Makalah disusun untuk memenuhi tugas uji kompetensi dasar 3 mata kuliah Soasiologi Hukum  Kelas C, dosen pengampu: Bapak Mulyanto, SH, MH.  Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada segenap pihak yang telah memberi bantuan, dukungan, serta pertolongan baik berupa fisik maupun psikis selama penyusunan naskah akademik ini, terutama kepada:
Bapak Mulyanto, SH, MH selaku dosen pembimbing mata kuliah Soaiologi Hukum Kelas C, Fakultas Hukum Universitas Sebelas  Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih belum sempurna dari standar penulisan yang ideal, untuk itu penulis berharap kritik dan saran dari para pembaca yang budiman. Akhirnya, semoga makalah ini mampu memberikan suatu manfaat bagi kita semua.
Surakarta, 30 April 2012

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul………………………………………………………….     i           Kata Pengantar........................................................................................  ii
Daftar Isi........………………………..……………................................      iii

BAB I Pendahuluan

A.    Latar Belakang ………........................................................     1
B.     Rumusan Masalah……........................................................     3
BAB II   KajianTeoretis
A. Definisi Kode Etik Hakim..........................................……..     4
B.  Definisi Pengadilan yang Berwibawa..................................     5

BAB III   Pembahasan

A  Penerapan Kode Etik Hakim ................................................     8         
B Analisis Penegakan Kode Etik Hakim dalam
    Membangun Wibawa Pengadilan...........................................     13
BAB IV Penutup
A.  Simpulan………...................................................................     19
B.  Rekomendasi………............................................................     21
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakkan supremasi hukum yang menjadi salah satu amanat reformasi hingga saat ini sedang dalam proses sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak. Hal ini terjadi mengingat dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir akibat sistem kekuasaan yang represif telah mengakibatkan wajah hukum dan praktek peradilan kita menjadi tidak sehat. Tentu ini menjadi tugas berat bagi jajaran kekuasaan kehakiman untuk membangun kembali citra peradilan menjadi berwibawa dan dihormati masyarakat. Terlepas dari kekurangan yang ada, terjadinya kekurang-percayaan publik terhadap lembaga peradilan tercermin dari banyaknya kritik dan berbagai bentuk ketidakpuasan masyarakat.
Tentu yang menjadi sorotan terkait dengan masalah penegakkan hukum ini salah satunya adalah aparat peradilan terutama hakim. Kompetensi hakim sebagai wakil Tuhan di bumi mulai diragukan kredibilitasnya. Kualitas seorang hakim dalam memutus suatu perkara memiliki pengaruh yang dominan dalam tegaknya supremasi hukum dan untuk mewujudkan wibawa pengadilan di Indonesia disamping dukungan dari aparat penegak hukum yang lain. Hakim sebagai figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan  hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak.
Pedoman mengenai perilaku hakim telah tertuang dalam Kode Etik Profesi Hakim. Pedoman Tingkah Laku (Code of Conduct) Hakim ialah penjabaran dari kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
Dengan berpegang teguh terhadap Kode Etik Profesi Hakim tersebut, diharapkan nantinya hakim dapat mengangkat citra dan wibawanya dan perilaku dalam memberikan keadilan dan kepastian serta perlindungan hukum yang dibutuhkan, sehingga masyarakat dapat menyandarkan harapan yang sangat besar kepada hakim yang benar-benar memiliki integritas dan profesionalisme karena tindakan dan tingkah lakunya menunjukkan ketidakberpihakan, memiliki integritas moral, serta pada kemampuannya memberikan putusan yang baik. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian pemasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Sehingga dengan adanya putusan pengadilan yang adil, maka akan mengangkat wibawa suatu pengadilan.
Dibuatnya suatu peraturan tentang adanya penghargaan (reward) kepada hakim yang berkelakuan baik dan hukuman (penalty) khusus kepada hakim yang ‘nakal’ atau kurang berkompeten dirasa perlu untuk mendorong dipatuhinya kode etik hakim mengingat selama ini hanya ada suatu pengaturan bagi hakim yang terbukti menerima suap itu pun dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga sepertinya tidak ada dorongan bagi para hakim untuk berlomba-lomba untuk berperilaku baik atau menegakkan keadilan dengan mematuhi kode etik profesinya. Cara perekrutan hakim pun seharusnya dirombak karena selama ini cara perekrutan tersebut dirasa kurang efektif dan kurang berhasil untuk menjaring hakim-hakim yang berkualitas. Bahkan justru banyak hakim-hakim yang ternyata merupakan ‘titipan’ dari keluarga atau kerabatnya yang juga merupakan hakim.

B. Rumusan Masalah                                     
1.    Apakah kode etik hakim sudah diterapkan oleh sebagian besar hakim di Indonesia dewasa ini?
2.    Bagaimana analisis penegakkan kode etik hakim dalam membangun wibawa pengadilan saat ini?



BAB II
KAJIAN TEORETIS

A.      Definisi Kode Etik Profesi Hakim

Hakim adalah salah satu profesi yang paling penting dalam proses peradilan karena tugas hakim adalah untuk mengadili dan memutus perkara. Dalam menjalankan tugasnya hakim harus berpegang teguh pada kode etik profesi hakim. Kode Etik Profesi Hakim ialah aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Hakim.
Tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak,memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara. Sedangkan hal-hal yang bersifat sosial hanyalah akibat dari putusan hakim terhadappihak yang bersangkutan. Hakim dituntut tidak boleh legalistik, tidak boleh sekedar sebagai mulut undang-undang, tidak boleh hanya “legal justice” tetapi harus “social justice”, dan lain-lain. Hakim dituntut untuk menemukan hukum, bahkan bila perlu menciptakan hukum untuk memenuhi kebutuhan atau rasa keadilan masyarakat.         
Berkaca dari beberapa kasus hukum yang melibatkan oknum aparat penegak hukum, yang seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi, adanya tuntutan ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya pengawasan, sampai dengan ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya terutama untuk para hakim. Saat ini banyak kasus suap hakum yang terjadi di berbagai pengadilan di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk itu kode etik profesi sangatlah penting karena kode etik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Berdasarkan pengertian dan fungsinya tersebut, jelas bahwa kode etik profesi merupakan suatu pedoman untuk menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi itu sendiri, sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan masyarakat terhadap profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi hukum terutama   profesi hakim.

B.       Definisi Pengadilan yang Berwibawa
 “Tempat yang paling utama dimana hukum dan ketertiban harus ditegakkan ialah di pengadilan itu sendiri” (Lord Denning)
Pengadilan berwibawa, mengandung arti bahwa pengadilan dipercaya sebagai lembaga peradilan yang memberikan perlindungan dan pelayanan hukum sehingga lembaga peradilan tegak dengan karisma sandaran keadilan masyarakat.[1]
Menurut Bagir Manan berdasarkan rekaman subyektif memberikan kriteria bagaimana persepsi masyarakat mengenai pengadilan dan peradilan yang baik. Ini dimaksudkan untuk dijadikan perhatian bagi para hakim guna dijadikan pendorong dan percepat terwujudnya kembali pengadilan yang berwibawa, terhormat dan dihormati.[2]
Persepsi masyarakat mengenai pengadilan dan peradilan yang baik[3], adalah:
1.    Pengadilan dan peradilan yang baik kalau dalam setiap perkara pidana terutama korupsi, pembalakan kayu atau pelanggaran hak asasi manusia selalu menemukan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Tidak boleh ada terdakwa yang dibebaskan, atau dilepaskan atau diringankan.
2.    Pengadilan dan peradilan yang baik kalau independent, hakim bebas dari tekanan dan campur tangan pemerintah.
3.      Pengadilan dan peradilan yang baik kalau senantiasa memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
4.      Pengadilan dan peradilan yang baik kalau hakim adil, jujur, berpengetahuan tinggi, cakap, rendah hati, berhati-hati, berintegritas dan disiplin
5.      Pengadilan dan peradilan yang baik kalau bekerja efisien dan efektif seperti memutus dengan cepat.
6.      Pengadilan dan peradilan yang baik, kalau menjamin keterbukaan (tranparancy) dan akses publik.











BAB III
PEMBAHASAN

A.      Penerapan Kode Etik Hakim
Dasar kode etik profesi hakim diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam hal ini tertuang dalam pasal 1 yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Adapun pokok-pokok dari etika profesi Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:
1. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yaitu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial. (Terdapat dalam pasal 1)
2. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (1))
3. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (2))
4. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Terdapat dalam pasal 5)
Selain itu, dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) ke XIII di Bandung Tanggal 21 Februari Tahun 2001 menghasilkan sebuah peraturan mengenai kode etik profesi Hakim yang merupakan satu-satunya kode etik yang berlaku bagi para hakim Indonesia.[4] Kode etik profesi hakim menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Kalaupun ada biasanya akan ditangani oleh komisi yang dibentuk oleh Komisi Yudisial, Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik Profesi.[5]
Banyak realita yang bisa dilihat. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebaslepaskan dari segala tuntutan. Hal ini jelas melanggar kode etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Dalam ayat (2) yaitu Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim. Ditambah lagi ketika memanfaatkan jabatan tersebut banyak orang lain yang dirugikan. Hal ini bertentengan dengan kode etik profesi yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional XIII di Bandung yaitu mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi.[6]
Kenyataannya, masih banyak lagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim. Tetapi, memang publik kurang mengetahuinya karena tidak begitu diangkat di ranah publik. Dan pemberian sanksi nya pun belum begitu tegas terbukti masih banyak terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. Padahal, hakim adalah cermin pengadilan. Sehingga, dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim berarti mencoreng nama pengadilan sebagai contoh lembaga yang harus diteladani menjadi lembaga yang sudah tidak percaya lagi kredibilitasnya oleh masyarakat.
Untuk itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja.[7] Adanya Komisi Yudisial ataupun komisi yang dibentuk oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya.[8] Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut.
Hal ini dikarenakan, kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlak yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik.
B. Analisis Penegakkan Kode Etik Hakim dalam Membangun Wibawa Pengadilan
b. 1. Relevansi Penegakkan Kode Etik Hakim terhadap Perwujudan Pengadilan yang Berwibawa
Yang merupakan salah satu persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia.[9] Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. Oleh sebab itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggung-jawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti kita ketahui bahwa setiap profesi termasuk hakim menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman para profesional untuk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara konkret dalam suatu kode etik profesi. Tujuan kode etik ini adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi. Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral.[10] Oleh karena itu, hakim dituntut untuk berintegritas dan professional, serta menjunjung tinggi pedoman etika dan perilaku hakim. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” (vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vluegellam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.[11]


b. 2. Analisis terhadap Kondisi Saat Ini
Pada pembahasan pertama telah dijelaskan mengenai penerapan kode etik profesi hakim yaitu bahwa telah terjadi banyak sekali pelanggaran yang telah dilakukan oleh para hakim di Indonesia. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebaslepaskan dari segala tuntutan. Hal ini jelas melanggar kode etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim. Ditambah lagi ketika memanfaatkan jabatan tersebut banyak orang lain yang dirugikan. Hal ini bertentengan dengan kode etik profesi yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional XIII di Bandung yaitu mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi.[12] Dan bahkan sebenarnya, masih banyak lagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. Tetapi, memang publik kurang mengetahuinya karena tidak begitu diangkat di ranah publik. Dan pemberian sanksi nya pun belum begitu tegas terbukti masih banyak terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim.
Pelanggaran kode etik hakim tersebut tentu sangat mempengaruhi putusan hakim dalam sebuah pengadilan. Kita tentu sering mendengar bahwa putusan hakim sangat sering tidak adil sehingga dirasa sangat mengecewakan. Misalnya saja kasus-kasus ringan seperti pencurian kakao dan pencurian piring diputus oleh hakim dengan hukuman yang sama dengan atau bahkan lebih berat daripada kasus korupsi yang merugikan keuangan negara sampai bermilyar-milyar. Hal tersebut jelas terlihat bahwa putusan hakim-hakim di Indonesia sangat tidak adil. Sampai-sampai terdapat opini publik bahwa hukum itu seperti pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Posisi hakim yang sangat sentral dan memiliki kekuasaan membuat putusan itulah yang membuat hakim sering dilirik untuk dijadikan seorang ‘mafia’. Belum lagi adanya modus ‘balik modal’ yang dilakukan oleh para hakim-hakim kita karena dulunya ia diterima menjadi hakim dengan memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit sehingga hal tersebut jelas mendorong hakim untuk gampang untuk menerima suap. Dan baru saja kita dengar bahwa hakim-hakim Indonesia melakukan aksi demo menuntut kenaikan gaji hakim. Minimnya gaji hakim juga dapat dijadikan suatu alasan untuk hakim mudah menerima suap dari sana-sini. Sistem perekrutan hakim di Indonesia pun juga belum didasarkan pada norma-norma profesionalisme kemampuan pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kualitas seorang hakim.[13] Kesemua faktor itulah yang sangat mempengaruhi hakim melakukan pelanggaran kode etiknya sehingga berdampak pada ketidakadilan sebuah putusan yang dikeluarkannya. Orang besar yang mempunyai harta melimpah akan menyuap sang hakim dengan uang banyak sehingga sang hakim tersebut memutus hukuman yang ringan kepadanya, namun sebaliknya orang kecil atau rakyat jelata yang tidak mempunyai banyak uang untuk menyuap sang hakim tentu akan dijatuhi putusan dengan hukuman yang berat.
Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh hakim melalui ketokan palunya tersebut tentu sangat mempengaruhi citra atau wibawa suatu pengadilan. Suatu proses pengadilan dapat dikatakan berwibawa tercermin dari putusan hukuman yang dikeluarkan oleh hakim yang dirasa adil oleh semua pihak walaupun dalam proses persidangan tersebut terdapat ketidakjujuran yang dilakukan oleh terdakwa melalui kuasa hukumnya, polisi yang melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksa, atau mafia kasus lainnya selain hakim. Hal tersebut menunjukkan bahwa hakim mepunyai posisi yang sangat penting untuk membangun dan mewujudkan wibawa sebuah pengadilan. Seburuk apapun proses persidangan di pengadilan akan tetap terlihat berwibawa apabila hakim benar-benar mematuhi kode etik profesinya sebagai wakil Tuhan di bumi sehingga putusan yang dikeluarkannya dapat diterima oleh semua pihak dan dikatakan oleh publik sebagai sebuah putusan yang benar-benar adil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada kondisi saat ini dimana hakim sering melakukan pelanggaran terhadap kode etik profesinya sehingga putusan yang dikeluarkannya sering mengecewakan karena dirasa tidak adil dan cenderung memihak kepada orang yang berduit, membuat pengadilan di Indonesia terkesan tidak berwibawa lagi.













BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Dasar kode etik profesi hakim diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Adapun pokok-pokok dari etika profesi Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:
a. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yaitu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial. (Terdapat dalam pasal 1)
b. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (1))
c. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (2))
d. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Terdapat dalam pasal 5)
Kenyataannya, masih banyak lagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim. Misalnya :
1.    Misalnya, hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebaslepaskan dari segala tuntutan.
2.    Hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim.
3.    Adanya Komisi Yudisial ataupun komisi yang dibentuk oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya.[14] Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut.

B.     Rekomendasi
1.    Sebaiknya dibentuk peraturan khusus mengenai sanksi yang akan diterima hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim, sebagaimana yang kita ketahui, sejauh ini belum ada peraturan tertulis (semacam UU) yang secara tegas mengatur mengenai sanksi tersebut. dalam Keputusan bersama Ketua MA dan KY, hanya dinyatakan bahwa “Hakim yang diusulkan untuk dikenakan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian oleh Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial RI diberi kesempatan untuk membela diri di Majelis Kehormatan Hakim“.Dalam hal ini ‘hakim yang diusulkan’ maksudnya adalah hakim yang diduga melakukan penlanggaran terhadap kode etik hakim, dan seperti yang terlihat,dalam peraturan tersebut hakim yang melanggar diancam diberhentikan oleh mahkamah Agung atau Komisi Yudisial, namun tidak diancam sanksi yang secara tegas dan jelas menyatakan hukuman atas hakim tersebut.
2.    Pemeriksaan terhadap Hakim hendaknya tidak dilakukan bila hakim tersebut diduga malakukan kesalahan saja, namun dilakukan secara berkala dan berkelanjutan, sehingga perilaku hakim dapat lebih terkontrol, selain itu juga dengan pemeriksaan berkala ini akan dapat mencegah terjadinya pelanggaran.
3.    Pemberian reward (misal dapat berupa penghargaan) terhadap hakim yang berperilaku baik dan sesuai kode etik hakim, kaitannya dengan saran no.2 mengenai pemeriksaan berkala, jika hal ini dilakukan, maka akan terlihat mana hakim yg baik dan mana hakim yang melanggar, sehingga kepada hakim yg baik dan melaksanakan kode etik dapat diberi reward yang pantas.

DAFTAR PUSTAKA
Laporan Akhir yang berjudul “Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan” oleh Komisi Hukum
Makalah “Fair Trial, Hak Asasi Manusia, dan Pengawasan Hakim” oleh Dr.Suparman Marzuki pada Seminar “Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Hakim Seluruh Indonesia” di Hotel Santika Makassar, 30 Mei-2 Juni 2011
Nasional Republik Indonesia
www.bitlib.net/jurnal+penerapan-kode-etik-hakim.pdf diakses pada tanggal 27/04/2012 pukul 19.24
www.jurnalhukum.bolgspot.com/2006/03/Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi atas UU NO. 22 Tahun 2004.pdf


[6] www.pn-luwukbanggai.go.id diakses pada tanggal 29/04/2012 pukul 22.25
[7] Koran Media Indonesia tanggal 6 Agustus 2011 halaman 3
[8] www.jurnalhukum.bolgspot.com/2006/03/Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Atas UU NO. 22 Tahun 2004.pdf
[9] Makalah “Fair Trial, Hak Asasi Manusia, dan Pengawasan Hakim” oleh Dr.Suparman Marzuki pada Seminar “Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Hakim Seluruh Indonesia” di Hotel Santika Makassar, 30 Mei-2 Juni 2011
[10] www.bitlib.net/jurnal+penerapan-kode-etik-hakim.pdf diakses pada tanggal 27/04/2012 pukul 19.24
[11] www.jurnalhukum.bolgspot.com/2006/03/Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Atas UU NO. 22 Tahun 2004.pdf
[12] www.pn-luwukbanggai.go.id diakses pada tanggal 29/04/2012 pukul 22.25
[13] Laporan Akhir yang berjudul “Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan” oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia
[14] www.jurnalhukum.bolgspot.com/2006/03/Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Atas UU NO. 22 Tahun 2004.pdf