Senin, 08 April 2013

BABEH PEMANGSA ANAK-ANAK JALANAN METROPOLITAN


BABEH PEMANGSA ANAK-ANAK JALANAN METROPOLITAN[1]
oleh : Jatu Esthi Purnaningrum[2]

            “Babeh”, begitu panggilan akrab sosok lelaki paruh baya yang diketahui mempunyai nama asli Baekuni alias Bungkik. Babeh lahir pada tanggal 6 September 1960 di Desa Mranggen, Magelang,, Jawa Tengah[3], yang pada akhirnya memutuskan untuk kabur ke Jakarta karena Babeh kecil sering menjadi bahan ejekan sebagai “si bodho” di kampung halaman. Ia hidup menggelandang di Lapangan Banteng selama tiga tahun. Saat Babeh berusia 12 tahun, ia menjadi korban sodomi[4]. Ia disodomi paksa di bawah todongan pisau oleh seorang preman. Dengan ketakutan, ia menahan rasa sakit. Lima tahun kemudian Babeh kembali ke kampong halaman. Tiba saatnya Babeh mempersunting seorang wanita bernama Neng Erah dan mereka memilih melanjutkan hidup di Jakarta dengan sederhana. Di Jakarta, mereka tinggaldi jalan Kembang  Sepatu, Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Disana ia menjadi seorang pedagang rokok di depan Pulogadung Trade Center.  Tujuh tahun terakhir, namanya “familiar” di kalangan anak-anak pengamen jalanan di daerah Klender, Pulogadung, hingga Cakung, Jakarta Timur. Babeh gagal menunjukkan kejantanannya kepada Neng Erah[5]. Peristiwa tersebut dirasa lebih menyakitkan ketimbang ketika ia menghadapi caci maki Neng Erah sebagai seorang miskin. Sebelum ia gagal di malam pertama dengan Neng Erah, ia masih pria normal. Ia mengatakan, awalnya ia mengatasi hasrat seksualnya dengan mastrubasi, setelah itu ia menjadi pedofili dengan meminta anak-anak melakukan mastrubasi sebelum akhirnya menyodomi korban-korbannya[6]. Babeh mempunyai kelainan seksual, yaitu acap kali mensodomi anak-anak pengamen jalanan sejak ia berada jauh dari isterinya. Dari sifat menyimpangnya tersebut, ia juga membunuh para korban yang telah ia sodomi dengan cara yang mengerikan dan tidak manusiawi, yaitu dengan cara memutilasi para korbannya.. Ini sesuai dengan pernyataan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono, bahwa sepanjang sejarah pengungkapan kasus pembunuhan berantai di Tanah Air, baru kasus inilah yang dinilai “paling mengerikan dengan barang bukti lebih lengkap”[7].
Aksi keji tersebut telah berlangsung selama hampir 17 tahun. Bak pepatah “serapat-rapatnya kita menyembunyikan bangkai, kelak akan tercium juga”. Pepatah tersebut layak untuk mendiskripsikan kisah yang dilalui oleh Babeh. Pasalnya ia telah melakukan perbuatan keji tersebut sejak tahun 1993 dan akhirnya pada tahun 2010 kasus tersebut berhasil diungkap oleh Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono hingga jajaran terbawahnya. Bila dikaitkan dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman maka dapat dilihat pada saat Ajun Komisaris Tahan Marpaung memeriksa Babeh di Polsek Metro Cakung. Tahan diam-diam memperhatikan seluruh bagian tubuh Babeh. Ia melihat di sela kuku jempol kanan Babeh ada bercak darah. Tahan menarik jempol kanan Babeh dan didekatkan ke hidung. Ternyata bercak darah tersebut berasal dari darah salah satu korban Babeh, Ardiansyah. Kemudian Tahan segera memanggil tim Puslabfor (Pusat Laboratorium Forensik) Mabes Polri untuk memeriksa kuku Babeh[8].
Sebelum Babeh mensodomi para korbannya, Babeh mengenali dahulu lingkungan sekitarnya. Dengan teliti ia “menggambar” lingkungan fisik dan lingkungan sosial setempat[9]. Kemudian, mengawali dengan  pertemuan, perkenalan, membujuk para korban untuk bersedia ikut dengannya, memandikannya, mengajak ke tempat yang dirasa sepi atau aman, kemudian mengajak korban untuk “bermain”[10], seluruh korban selalu menolak ajakan “bermain” tersebut hingga akhirnya Babeh memutuskan untuk menghabisi nyawa para korban dengan cara menjerat leher dengan menggunakan seutas tali rafia dan memutilasi menggunakan pisau yang telah ia persiapkan. Babeh mengaku kepada Ajun Komisaris Besar Nico Afinta[11], bahwa telah membunuh 14 anak pengamen jalanan. Korban-korban tersebut adalah Adit (12), Feri (11), Doli (11), Kiki (11), Irwan Imron (12), Teguh alias Ardi (11), Aris (11), Riki (9), Yusuf (7), Adi (12), Rio (12), Arif “Kecil” (7), Ardiansyah (9) dan Teguh Sepudin (13).  Namun Ajun Kombes Nico Afinta merasa belum puas terhadap pengakuan Babeh tersebut, Ia menduga masih terdapat korban Babeh lainnya yang belum terungkap. “Jika hasrat seksualnya secara rutin datang paling lama tiga bulan, maka dalam setahun jumlah korban Babeh bisa empat anak. Dengan pengandaian tersebut, jika Babeh mulai membunuh sejak tahun 1993, maka jumlahnya bisa anda hitung sendiri,” papar Nico[12].  
Sasaran korban Babeh seluruhnya adalah anak-anak pengamen jalanan. Menurut Babeh, para pengamen ini rata-rata putus sekolah dan hidup bebas. Mereka dianggap tidak mempunyai cita-cita lagi selain mengamen untuk menyambung hidup atau membantu mencari nafkah orangtua mereka. Anak-anak pengamen jalanan ini bias dua tiga hari tidak pulang ke rumahtanpa membuat orang tua mereka khawatir. Berbeda dengan anak jalanan penjaja jasa semir sepatu atau penjual Koran. Sebagian mereka bekerja sambil bersekolah. Mereka masih memiliki cita-cita, dan masih diperhatikan oleh orangtua mereka. Babeh tidak memilih anak-anak pengemis, karena anak-anak pengemis hidupnya kotor, jorok dan lebih repot membuat mereka menjadi bersih, pada dasarnya Babeh menyukai anak-anak yang berpenampilan bersih dan tampan[13].
Perjalanan mencari, mengumpulkan jasad dan tulang belulang para korban, merekonstruksi, mengumpulkan laporan polisi setempat dan saksi-saksi, dalah bagian dari penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh polisi. Penyelidikan ilmiah dilakukan untuk mengidentifikasi korban dan membedah kasus secara lebih akurat. Di Jakarta, Babeh diperiksa tiga psikolog dari Mabes Polri, Psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, serta psikolog dan Kriminolog Profesor Ardianus Meliala. Hasilnya, Babeh waras dan bukan psikopat . Dengan demikian, Atas keterangan yang dipaparkan oleh Babeh, saksi-saksi, dan barang bukti yang diperoleh polisi maka beberapa haltersebut mampu untuk meyakinkan majelis hakim. Atas perbuatan keji yang dilakukan oleh Babeh, maka polisi menjerat tersangka dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman maksimal, yaiyu hukuman mati. Di muka pengadilan, para psikolog tersebut dapat dijadikan saksi ahli kasus Babeh[14]. Polisi juga telah mengidentifikasi garis keturunan antara korban dan orangtuanya lewat pemeriksaan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid).
Berulangkali Babeh melakukan perbuatan keji tersebut, ini karena ia merasa aman sehingga ia selalu mengulangi hal yang sama. Aksi ini dirasa sangat kejam, Babeh sudah tidak canggung lagi untuk mengulang perbuatan tersebut karena ia telah terbiasa selama belasan tahun. Babeh diibaratkan sebagai “Pemangsa anak-anak pengamen jalanan metropolitan”. Menurut Meliala[15], kasus Babeh adalah kasusu langka dan berdampak sosial luas[16]. Sedangkan Mardiatmadja[17] berpendapat, bahwa kasus Babeh bias menjadi refleksi bahwa potensi manusia yang berfungsi sosial kerap terperangkap individualism. Dalam individualism, cinta bukan lagi semangat untuk berbagi, tetapi semangat untuk menguasai. ‘cintamu kepadamu adalah hak ku. Jadi kamu tak boleh lepas tanpa mauku,” tutur Mardi[18]. Seto Mulyadi[19] menambahkan, karena akar masalah anak jalanan adalah kemiskinan, maka solusinya adalah mengembangkan pendidikan nonformal dan usaha informal bagi mereka. Pengungkapan kasus Babeh ini, mengingatkan orangtua dan semua orang yang terlibat dalam masalah anak-anak akan mendidik anak-anak dengan cara yang benar. “jika kemudian anak terungkap menjadi korban pedofili (penyuka anak prapubertas sebagai obyek seks) seperti pada kasus Babeh, jangan dimarahi atau dikucilkan. Sebalikknya, bejrilah dia kasih sayang lebih dari biasanya untuk memulihkan trauma yang ia alami,’ papar Sarlito[20].


[1]Tugas ini disusun guna memenuhi nilai Ujian Kompetensi Dasar 1, mata kuliah Ilmu Kedokteran Kehakiman,  dosen Pengampu Bapak Rustam Aji,SH, MH.
[2]Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret      dengan nomor registrasi mahasiswa E0010198.
[3] Windoro Adi & Nico Afinta, 2010. BABEH Duka Anak Jalanan . Arsip Metro. Hlm. 88.
[4] Ibid., Hlm. 3.
[5] Ibid., Hlm. 90.
[6] Ibid., Hlm. 93.
[7] Ibid., Hlm. 1.
[8] Ibid., Hlm. 30.
[9] Ibid., Hlm. 85.
[10] “bermain” = mensodomi
[11] Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan, Direskrimum Polda Metro Jaya.
[12] Ibid., Hlm. 62.
[13] Ibid., Hlm. 85.
[14] Ibid., Hlm. 77.
[15] Kriminolog, Psikolog UI, Prof. Adrianus Meliala.
[16] Ibid., Hlm. 7.
[17] Budayawan dan pendidik Doktor Mardiatmadja, SY.
[18] Ibid., Hlm. 9.
[19] Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak.
[20] Ibid., Hlm. 12.