BABEH PEMANGSA ANAK-ANAK JALANAN
METROPOLITAN[1]
oleh
: Jatu Esthi Purnaningrum[2]
“Babeh”, begitu panggilan akrab
sosok lelaki paruh baya yang diketahui mempunyai nama asli Baekuni alias
Bungkik. Babeh lahir pada tanggal 6 September 1960 di Desa Mranggen, Magelang,,
Jawa Tengah[3],
yang pada akhirnya memutuskan untuk kabur ke Jakarta karena Babeh kecil sering
menjadi bahan ejekan sebagai “si bodho” di kampung halaman. Ia hidup
menggelandang di Lapangan Banteng selama tiga tahun. Saat Babeh berusia 12
tahun, ia menjadi korban sodomi[4].
Ia disodomi paksa di bawah todongan pisau oleh seorang preman. Dengan
ketakutan, ia menahan rasa sakit. Lima tahun kemudian Babeh kembali ke kampong
halaman. Tiba saatnya Babeh mempersunting seorang wanita bernama Neng Erah dan
mereka memilih melanjutkan hidup di Jakarta dengan sederhana. Di Jakarta,
mereka tinggaldi jalan Kembang Sepatu,
Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Disana
ia menjadi seorang pedagang rokok di depan Pulogadung Trade Center. Tujuh tahun terakhir, namanya “familiar” di kalangan anak-anak
pengamen jalanan di daerah Klender, Pulogadung, hingga Cakung, Jakarta Timur.
Babeh gagal menunjukkan kejantanannya kepada Neng Erah[5].
Peristiwa tersebut dirasa lebih menyakitkan ketimbang ketika ia menghadapi caci
maki Neng Erah sebagai seorang miskin. Sebelum ia gagal di malam pertama dengan
Neng Erah, ia masih pria normal. Ia mengatakan, awalnya ia mengatasi hasrat
seksualnya dengan mastrubasi, setelah itu ia menjadi pedofili dengan meminta
anak-anak melakukan mastrubasi sebelum akhirnya menyodomi korban-korbannya[6]. Babeh
mempunyai kelainan seksual, yaitu acap kali mensodomi anak-anak pengamen
jalanan sejak ia berada jauh dari isterinya. Dari sifat menyimpangnya tersebut,
ia juga membunuh para korban yang telah ia sodomi dengan cara yang mengerikan
dan tidak manusiawi, yaitu dengan cara memutilasi para korbannya.. Ini sesuai
dengan pernyataan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono, bahwa
sepanjang sejarah pengungkapan kasus pembunuhan berantai di Tanah Air, baru
kasus inilah yang dinilai “paling mengerikan dengan barang bukti lebih lengkap”[7].
Aksi
keji tersebut telah berlangsung selama hampir 17 tahun. Bak pepatah “serapat-rapatnya kita menyembunyikan
bangkai, kelak akan tercium juga”. Pepatah tersebut layak untuk
mendiskripsikan kisah yang dilalui oleh Babeh. Pasalnya ia telah melakukan
perbuatan keji tersebut sejak tahun 1993 dan akhirnya pada tahun 2010 kasus
tersebut berhasil diungkap oleh Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono
hingga jajaran terbawahnya. Bila dikaitkan dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman
maka dapat dilihat pada saat Ajun Komisaris Tahan Marpaung memeriksa Babeh di
Polsek Metro Cakung. Tahan diam-diam memperhatikan seluruh bagian tubuh Babeh.
Ia melihat di sela kuku jempol kanan Babeh ada bercak darah. Tahan menarik
jempol kanan Babeh dan didekatkan ke hidung. Ternyata bercak darah tersebut
berasal dari darah salah satu korban Babeh, Ardiansyah. Kemudian Tahan segera
memanggil tim Puslabfor (Pusat Laboratorium Forensik) Mabes Polri untuk
memeriksa kuku Babeh[8].
Sebelum
Babeh mensodomi para korbannya, Babeh mengenali dahulu lingkungan sekitarnya.
Dengan teliti ia “menggambar” lingkungan fisik dan lingkungan sosial setempat[9].
Kemudian, mengawali dengan pertemuan, perkenalan,
membujuk para korban untuk bersedia ikut dengannya, memandikannya, mengajak ke
tempat yang dirasa sepi atau aman, kemudian mengajak korban untuk “bermain”[10],
seluruh korban selalu menolak ajakan “bermain” tersebut hingga akhirnya Babeh
memutuskan untuk menghabisi nyawa para korban dengan cara menjerat leher dengan
menggunakan seutas tali rafia dan memutilasi menggunakan pisau yang telah ia
persiapkan. Babeh mengaku kepada Ajun Komisaris Besar Nico Afinta[11],
bahwa telah membunuh 14 anak pengamen jalanan. Korban-korban tersebut adalah
Adit (12), Feri (11), Doli (11), Kiki (11), Irwan Imron (12), Teguh alias Ardi
(11), Aris (11), Riki (9), Yusuf (7), Adi (12), Rio (12), Arif “Kecil” (7),
Ardiansyah (9) dan Teguh Sepudin (13). Namun Ajun Kombes Nico Afinta merasa belum
puas terhadap pengakuan Babeh tersebut, Ia menduga masih terdapat korban Babeh
lainnya yang belum terungkap. “Jika
hasrat seksualnya secara rutin datang paling lama tiga bulan, maka dalam
setahun jumlah korban Babeh bisa empat anak. Dengan pengandaian tersebut, jika
Babeh mulai membunuh sejak tahun 1993, maka jumlahnya bisa anda hitung
sendiri,” papar Nico[12].
Sasaran
korban Babeh seluruhnya adalah anak-anak pengamen jalanan. Menurut Babeh, para
pengamen ini rata-rata putus sekolah dan hidup bebas. Mereka dianggap tidak
mempunyai cita-cita lagi selain mengamen untuk menyambung hidup atau membantu
mencari nafkah orangtua mereka. Anak-anak pengamen jalanan ini bias dua tiga
hari tidak pulang ke rumahtanpa membuat orang tua mereka khawatir. Berbeda
dengan anak jalanan penjaja jasa semir sepatu atau penjual Koran. Sebagian
mereka bekerja sambil bersekolah. Mereka masih memiliki cita-cita, dan masih
diperhatikan oleh orangtua mereka. Babeh tidak memilih anak-anak pengemis,
karena anak-anak pengemis hidupnya kotor, jorok dan lebih repot membuat mereka
menjadi bersih, pada dasarnya Babeh menyukai anak-anak yang berpenampilan
bersih dan tampan[13].
Perjalanan
mencari, mengumpulkan jasad dan tulang belulang para korban, merekonstruksi,
mengumpulkan laporan polisi setempat dan saksi-saksi, dalah bagian dari
penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh polisi. Penyelidikan ilmiah dilakukan
untuk mengidentifikasi korban dan membedah kasus secara lebih akurat. Di
Jakarta, Babeh diperiksa tiga psikolog dari Mabes Polri, Psikolog Sarlito
Wirawan Sarwono, serta psikolog dan Kriminolog Profesor Ardianus Meliala.
Hasilnya, Babeh waras dan bukan psikopat . Dengan demikian, Atas keterangan
yang dipaparkan oleh Babeh, saksi-saksi, dan barang bukti yang diperoleh polisi
maka beberapa haltersebut mampu untuk meyakinkan majelis hakim. Atas perbuatan
keji yang dilakukan oleh Babeh, maka polisi menjerat tersangka dengan pasal 340
KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman maksimal, yaiyu
hukuman mati. Di muka pengadilan, para psikolog tersebut dapat dijadikan saksi
ahli kasus Babeh[14].
Polisi juga telah mengidentifikasi garis keturunan antara korban dan
orangtuanya lewat pemeriksaan DNA (Deoxyribo
Nucleic Acid).
Berulangkali
Babeh melakukan perbuatan keji tersebut, ini karena ia merasa aman sehingga ia
selalu mengulangi hal yang sama. Aksi ini dirasa sangat kejam, Babeh sudah
tidak canggung lagi untuk mengulang perbuatan tersebut karena ia telah terbiasa
selama belasan tahun. Babeh diibaratkan sebagai “Pemangsa anak-anak pengamen
jalanan metropolitan”. Menurut Meliala[15],
kasus Babeh adalah kasusu langka dan berdampak sosial luas[16].
Sedangkan Mardiatmadja[17]
berpendapat, bahwa kasus Babeh bias menjadi refleksi bahwa potensi manusia yang
berfungsi sosial kerap terperangkap individualism. Dalam individualism, cinta
bukan lagi semangat untuk berbagi, tetapi semangat untuk menguasai. ‘cintamu
kepadamu adalah hak ku. Jadi kamu tak boleh lepas tanpa mauku,” tutur Mardi[18].
Seto Mulyadi[19]
menambahkan, karena akar masalah anak jalanan adalah kemiskinan, maka solusinya
adalah mengembangkan pendidikan nonformal dan usaha informal bagi mereka. Pengungkapan
kasus Babeh ini, mengingatkan orangtua dan semua orang yang terlibat dalam
masalah anak-anak akan mendidik anak-anak dengan cara yang benar. “jika
kemudian anak terungkap menjadi korban pedofili (penyuka anak prapubertas
sebagai obyek seks) seperti pada kasus Babeh, jangan dimarahi atau dikucilkan.
Sebalikknya, bejrilah dia kasih sayang lebih dari biasanya untuk memulihkan
trauma yang ia alami,’ papar Sarlito[20].
[1]Tugas ini disusun guna memenuhi
nilai Ujian Kompetensi Dasar 1, mata kuliah Ilmu Kedokteran Kehakiman, dosen Pengampu Bapak Rustam Aji,SH, MH.
[2]Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum
program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dengan nomor registrasi mahasiswa
E0010198.
[3] Windoro Adi & Nico Afinta,
2010. BABEH Duka Anak Jalanan . Arsip Metro. Hlm. 88.
[4] Ibid., Hlm. 3.
[7] Ibid., Hlm. 1.
[10] “bermain” = mensodomi
[11] Kepala Satuan Kejahatan dengan
Kekerasan, Direskrimum Polda Metro Jaya.
[12] Ibid., Hlm. 62.
[15] Kriminolog, Psikolog UI, Prof.
Adrianus Meliala.
[16] Ibid., Hlm. 7.
[17] Budayawan dan pendidik Doktor
Mardiatmadja, SY.
[19]
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak.