Jumat, 02 November 2012

Kesederhanaan dan Keteguhan Masyarakat Suku Naga dalam Memegang Tradisi Nenek Moyang

Kesederhanaan dan Keteguhan Masyarakat Suku Naga
dalam Memegang Tradisi Nenek Moyang[1]
oleh: Jatu Esthi Purnaningrum[2]

Suku Naga terletak di sebuah desa yaitu desa Negalsari, Kecamatan Selawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Suku Naga sebenarnya tidak mengenal istilah suku Naga luar dan suku Naga dalam. Akan tetapi untuk membedakan penyebutan wilayah suku Naga dan sekitarnya yaitu sekitaran suku Naga disebut sebagai Sanaga, wilayah Sanaga letaknya lebih tinggi dibandingkan dengan Suku Naga. Sedangkan wilayah yang berada di bawah (lembah) disebut Suku Naga. Kata “naga” ini bukan berarti di Suku Naga terdapat naga, buah naga, ataupun beberapa hal yang berkaitan dengan naga, akan tetapi “naga” disini diambil dari kata “nagawir”.
Di pelataran Sanaga (suku naga luar) terdapat bangunan kokoh menyerupai persegi empat yaitu Tugu Kujang Pusaka, ‘’kujang’’ yang artinya pedang merupakan simbol dari masyarakat Sunda. Suku Naga merupakan penduduk asli Pasundan maka tepat jika ‘’Tugu Kujang Pusaka’’ tersebut dibangun di Kampung Naga. Di Sanaga terdapat bebrapa tour guide yang siap memberikan penjelasan mengenai suku Naga dan sekitarnya kepada para wisatawan domestik maupun asing. Total dari tour guide tersebut adalah 21 orang, mereka sangat sopan dan ramah. Dari 21 tour guide tersebut terdapat 1 orang yang mahir berbahasa asing (bahasa Inggris) yaitu Pak Ucuk.  Rumah penduduk Sanaga tidak berbeda dengan rumah-rumah pada umumnya, dindingnya sudah terbuat dari batu bata, semen dan sudah di cat, atapnya terbuat dari kayu dan genting, lantai sudah di kramik dan bahkan sudah ada listrik. Dari Sanaga menuju ke perkampungan Suku Naga, haruslah menuruni anak tangga yang jumlahnya ada 439 anak tangga dengan jarak kurang lebih 500 meter.
Dari tangga tersebut kita dapat melihat pemandangan yang ada di lembah, yaitu Suku Naga yang disana terdapat rumah-rumah dan hamparan sawah yang membentang. Mengenai sawah, mereka hanya bisa memanen dua kali dalam satu tahun, dan proses untuk mendapatkan beras yang enak dalam penglupasan kulit padi menjadi beras mereka lakukan dengan cara menumbuk padi tersebut, bukan digiling. Karena itulah di Suku Naga banyak diketemukan tempat penumbukan padi.  Di Suku Naga terdapat 113 bangunan, 108 kepala keluarga, yaitu 314 jiwa. Dari jumlah 113 bangunan tersebut sudah termasuk Balai kampung, Mushola dan Lumbung padi. Luas tanah suku Naga adalah 1,5 hektar, masing-masing rumah di bangun menghadap utara dan selatan, serta saling berhadapan antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Jarak antar masing-masing rumah sekitar 2-3 meter dan rumah tersebut semuanya tersusun ngujur (menghadap) timur-barat. Tidak ada satu pun rumah dibangun yang arahnya menghadap utara-selatan, karena menurut kepercayaan nenek moyang mereka, rumah yang arahnya utara-selatan adalah rumah orang yang telah meninggal dunia. Selain ketuntuan tersebut, tidak seorangpun boleh memperluas bangunan rumah mereka. Rumah mereka ukurannya seragam, yaitu berukuran 5x8 meter. Bangunan rumah Suku Naga semuanya berdinding tepas/ seseg itu terbuat dari bambu tipis yang kemudian dianyam, dan untuk pemberian warna putihnya tidak menggunakan cat tembok, melainkan menggunakan kapur putih. Kemudian atapnya terbuat dari daun tepus dan ijuk warna hitam. Daun tepus di biarkan terbuka berbentuk lembaran dan saling dikaitkan satu dengan yang lain (ditali), kemudian jika daun-daun tepus tersebut telah membentang membentuk lembaran yang besar barulah ditumpuk dengan ijiuk hitam. Perpaduan antara daun tepus dan ijuk tersebut mampu mencegah masuknya air hujan kedalam rumah. Untuk lantainya terbuat dari kayu, jenis kayu tersebut adalah kayu alba yang memberikan nuansa “adem” di dalam ruangan. Masing-masing rumah tersebut memiliki dua pintu masuk dan jendela yang terletak di satu dinding rumah, pintu pertama menuju ruang tamu, pintu lainnya menembus ruang keluarga, sampai ke dapur. Pintu-pintu tersebut biasanya berada di utara atau selatan. Penempatan pintu-pintu tersebut ada alasannya, karena pintu yang menghadap barat atau timur merupakan jalan masuk bagi orang-orang yang dikubur.
Walaupun rumah Suku Naga hanya terbuat dari kayu, namun konon katanya menurut masyarakat Suku Naga dan Kuncen (pemuka adat) rumah tersebut tahan akan gempa. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, jika ada gempa orang-orang keluar rumah dan berkumpul di tanah yang lapang dan menghindari bangunan.  Sedangkan masyarakat Suku Naga jika ada gempa mereka justru masuk ke dalam rumah semua, mereka berlindung di dalam rumah mereka masing-masing karena memang berlindung didalam rumah lebih aman daripada diluar. Bangunan-bangunan rumah tersebut tahan hingga 40 tahun-an. Makna filosofi mereka untuk membangun rumah dengan sesederhana mungkin tersebut berdasarkan keteguhan mereka untuk tidak merusak lingkungan yang telah ada. Jangankan untuk menembok rumah, menengganti atap dengan genting saja merupakan pantangan bagi mereka. Karena selain merusak lingkungan, sesungguhnya atap memiliki fungsi lain yakni untuk melindungi barang-barang kerajinan yang ada di dalamnya.
Suku Naga juga memiliki hutan, masyarakat Suku Naga menyebut hutan tersebut dengan “hutan larangan”. Bukan karena di dalam hutan terebut terdapat hewan buas atau ada yang dipuja, akan tetapi dikatakan “larangan” karena terdapat larangan untuk menjamah hutan tersebut. Sehingga tak seorangpun boleh memasukinya. Jika terdapat pohon yang tumbang, maka pohon tersebut dibiarkan membusuk. Jika masyarakat Suku Naga membutuhkan kayu untuk memasak maka mereka dapat mengambil dari ranting pohon atau sisa-sisa tanaman di lading. Semua itu merekalakukan untuk menjaga kelestarian hutan.
Masyarakat Suku Naga mayoritas aktivitasnya adalah bertani di sawah dan ladang. Kebutuhan sehari-hari di masing-masing kepala keluarga dipenuhi oleh laki-laki. Untuk ketahanan pangan, di masing-masing rumah terdapat lumbung padi untuk menyimpan hasil panen mereka. Kemudian para ibu membuat kerajinan tangan, yang dijadikan cindera mata dari Suku Naga. Mereka memanfaatkan lidi dan kayu aren untuk menjadi bahan dasar pembuatan kerajinan tangan. Kerajinan tangan tersebut seperti caping (topi terbuat dari anyaman bambu), tas, keranjang, piring dari lidi. Seruling bambu, sandal dan lain sebagainya. Cindera mata tersebut di gantung secara rapi di depan rumah mereka, sehingga para wisatawan domestik maupun asing ketika berkunjung di Suku Naga dapat mampir untuk membeli hasil kerajinan mereka.
 Mempertahankan budaya yang ada di Suku Naga sangat berat, karena terdapat pengaruh dari luar wilayah Suku Naga. Mengutip kata dari Kuncen (ketua adat) bahwa, kata kunci untuk mempertahankan budaya yang telah diturunkan oleh nenek moyang adalah mempunyai landasan adat dan budaya. “budaya” adalah mempertahankan budaya hidup, bukan mempertahankan gaya hidup. Jika segala hal berlandaskan atas budaya, maka tidak akan membedakan agama, etnis, dan sebagainya. Semua ini bukan dijadikan suatu perbedaan, yang ada hanya kerukunan. Masyarakat Suku Naga sangat bangga dikatakan sebagai masyarakat yang “primitif” daripada modern, karena mempertahankan budaya yang ada (primitif) membutuhkan waktu yang tidak sebentar yaitu berabad-abad, sedangkan untuk menjadi modern hanya membutuhkan waktu dalam hitungan jam saja.
Alam selalu memberikan tanda, dan alam tidak pernah memberikan bencana kepada kita. Menurut Kuncen, yang menyebabkan terjadinya bencana adalah dari akhlak. Ada sebuah falsafah mengatakan demikian “lengik seringna lengik sangajeng” yang artinya “rusak budayanya rusak negaranya”. Pemerintah sebenarnya memperhatikan kesejahteraan masyarakat Suku Naga, pemerintah meberikan listrik dan gas elpiji secara gratis namun atas kesepakatan bersama dari masyarakat Suku Naga mereka menolak pemberian listrik tersebut. Penolakan ini bertujuan supaya diantara mereka tidak terjadi kesenjangan sosial, missal A mampu membeli TV berwana sedangkan B hanya mampu membeli TV hitam putih, C mampu membeli kulkas sedangkan D tidak. Mereka juga memegang teguh falsafah kahurun yang dijadikan sebagai pegangan sehari-hari, yaitu hidup damai dan menjauhi perselisihan. Falsafahnya diungkap dalam bahasa sunda yang memiliki maknasebagai berikut:  walaupun mendapatkan hinaan mereka berusaha untuk tetap eling (ingat) dan selalu berusaha untuk menjauhi kehidupan material yang bisa mencelakakan. Tetap rendah hati, tidak sombong, tidak boleh lebih dari yang lain dan tidak boleh serakah.
Asal usul mengenai berdirinya Suku Naga ini Kuncen tidak dapat menjelaskannya, karena mereka telah kehilangan jejak siapa pendiri Suku Naga dan tidak dapat melacaknya lagi. Kuncen mengatakan bahwa pada tahun 1956 kampung Naga dibakar oleh gerombolan pemberontak DI/TII. Persembunyian DI/TII terletak di seberang Suku Naga. Sehingga buku yang mencatat silsilah mereka ikut terbakar.. di Suku Naga terdapat tiga monumen yang dikeramatkan, yang pertama adalah tempat persholatan, kedua adalah bekas lumbung yang jika anak laki-laki masuk kedalam bekas lumbung tersebut pamali, konon katanya jika anak laki-laki bujang yang masuk kedalam bekas lumbung tersebut maka akan sulit mendapatkan jodoh, dan yang ketiga adalah bumi ageng yaitu tempat lembaga adat untuk upacara adat jadi tidak sembarang orang boleh memasuki bumi ageng.
Masyarakat Suku Naga menganut agama Islam dan mereka masih mempertahankan adat dan tradisi yang turun temurun. Sebagaimana dalam ajaran Islam, terdapat empat pantangan yang mengikat kehidupan sehari-hari, yakni: ngawadul  atau berbicara yang tidak ada gunanya, ngadu atau berjudi, ngamadat atau mabuk-mabukan, dan ngawadon atau berzina. Barang siapa yang melanggar empat pantangan tersebut maka sanksinya adalah dikucilkan. Terdapat hari-hari tertentu dimana masyarakat Suku Naga tidak diperbolehkan untuk membicarakan mengenai kearifan lokal, dengan kata lain menyepi. Hari-hari tersebut adalah Selasa, Rabu dan Sabtu, selain hari itu masyarakat boleh beraktivitas seperti biasanya.
Lembaga adat tidak dibatasi oleh wilayah administratif. Terdapat tiga pemimpin atau kakolot yang mereka patuhi. Yang pertama adalah Kuncen atau pemuka adat yaitu orang yang mempunyai wewenang untuk memimpin upacara adat. Pemimpin yang kedua adalah Punduh atau Kepala dusun yaitu Pak Ma’mun dan yang ketiga adalah Lebe bernama Pak Jaelani, yakni orang yang mengurus jenazah jika ada warga yang meninggal dunia. Lembaga adat ini bersifat turun-temurun yaitu dari generasi laki-laki. Kemudian penentuan masa jabatannya itu selagi pemimpin tersebut selagi mampu dalam artian sehat, jika masih mampu maka masa jabatannya seumur hidup.
Upacara adat yang ada di Suku Naga yaitu hari-hari yang berkaitan dengan hari besar Islam. Seperti Muharam, Nifsu Sya’ban, Idul Fitri dan Idul Adha. Upacara adat tersebut dilakukan oleh kaum laki-laki, seperti ziarah dan doa bersama dipimpin oleh Kuncen. Sedangkan ibu-ibu menyiapkan masakan di dapur, mereka membuat tumpeng untuk dihidangkan bersama. Sementara dalam acara pernikahan bias dilakukan di hadapan pencatat nikah Islam, setelah itu ada lagi upacara di hadapan Kuncen. Sistem perkawinan di Suku Naga adalah bebas tapi bersyarat. Ada dua syarat di dalamperkawinan, yakni syarat utama dan syarat mutlak. Syarat utama yakni mereka harus sesame agama Islam. Kemudian syarat mutlak yaitu calon mempelai harus geulis dan kasep ini bertujuan supaya keturunannya bagus. Jika dalam rumah tangga ada yang mengajukan perceraian, maka diperbolehkan.
Di Suku Naga kata “pamali” merupakan kata yang mutlak tidak dapat ditawar lagi. Terdapat beberapa hal yang dapat dikatakan pamali seperti duduk selonjor menghadap kiblat, duduk di depan pintu, masuk ke hutan larangan, masuk ke lumbung padi (bagi anak laki-laki) dan lain sebagainya. Di Suku Naga juga tidakterdapat pencurian atau tindak kriminal lainnya. Masyarakat Suku Naga juga tidak menggunakan hak mereka dalam PEMILU (pemilihan umum), mereka tidak coba-coba dalam memilih wakil rakyat yang mereka kenal.


[1] Tugas ini disusun sebagai tugas tambahan mata kuliah Hukum Adatnaskelas G1
[2] Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret      dengan nomor registrasi mahasiswa E0010198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar