Kesederhanaan
dan Keteguhan Masyarakat Suku Naga
dalam
Memegang Tradisi Nenek Moyang[1]
oleh: Jatu Esthi Purnaningrum[2]
Suku
Naga terletak di sebuah desa yaitu desa Negalsari, Kecamatan Selawu, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Suku Naga sebenarnya tidak mengenal istilah suku Naga
luar dan suku Naga dalam. Akan tetapi untuk membedakan penyebutan wilayah suku
Naga dan sekitarnya yaitu sekitaran suku Naga disebut sebagai Sanaga, wilayah
Sanaga letaknya lebih tinggi dibandingkan dengan Suku Naga. Sedangkan wilayah
yang berada di bawah (lembah) disebut Suku Naga. Kata “naga” ini bukan berarti
di Suku Naga terdapat naga, buah naga, ataupun beberapa hal yang berkaitan
dengan naga, akan tetapi “naga” disini diambil dari kata “nagawir”.
Di
pelataran Sanaga (suku naga luar) terdapat bangunan kokoh menyerupai persegi
empat yaitu Tugu Kujang Pusaka, ‘’kujang’’ yang artinya pedang merupakan simbol
dari masyarakat Sunda. Suku Naga merupakan penduduk asli Pasundan maka tepat
jika ‘’Tugu Kujang Pusaka’’ tersebut dibangun di Kampung Naga. Di Sanaga
terdapat bebrapa tour guide yang siap
memberikan penjelasan mengenai suku Naga dan sekitarnya kepada para wisatawan domestik
maupun asing. Total dari tour guide
tersebut adalah 21 orang, mereka sangat sopan dan ramah. Dari 21 tour guide tersebut terdapat 1 orang
yang mahir berbahasa asing (bahasa Inggris) yaitu Pak Ucuk. Rumah penduduk Sanaga tidak berbeda dengan
rumah-rumah pada umumnya, dindingnya sudah terbuat dari batu bata, semen dan
sudah di cat, atapnya terbuat dari kayu dan genting, lantai sudah di kramik dan
bahkan sudah ada listrik. Dari Sanaga menuju ke perkampungan Suku Naga,
haruslah menuruni anak tangga yang jumlahnya ada 439 anak tangga dengan jarak
kurang lebih 500 meter.
Dari
tangga tersebut kita dapat melihat pemandangan yang ada di lembah, yaitu Suku
Naga yang disana terdapat rumah-rumah dan hamparan sawah yang membentang.
Mengenai sawah, mereka hanya bisa memanen dua kali dalam satu tahun, dan proses
untuk mendapatkan beras yang enak dalam penglupasan kulit padi menjadi beras
mereka lakukan dengan cara menumbuk padi tersebut, bukan digiling. Karena
itulah di Suku Naga banyak diketemukan tempat penumbukan padi. Di Suku Naga terdapat 113 bangunan, 108 kepala
keluarga, yaitu 314 jiwa. Dari jumlah 113 bangunan tersebut sudah termasuk
Balai kampung, Mushola dan Lumbung padi. Luas tanah suku Naga adalah 1,5
hektar, masing-masing rumah di bangun menghadap utara dan selatan, serta saling
berhadapan antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Jarak antar
masing-masing rumah sekitar 2-3 meter dan rumah tersebut semuanya tersusun ngujur (menghadap) timur-barat. Tidak
ada satu pun rumah dibangun yang arahnya menghadap utara-selatan, karena
menurut kepercayaan nenek moyang mereka, rumah yang arahnya utara-selatan
adalah rumah orang yang telah meninggal dunia. Selain ketuntuan tersebut, tidak
seorangpun boleh memperluas bangunan rumah mereka. Rumah mereka ukurannya
seragam, yaitu berukuran 5x8 meter. Bangunan rumah Suku Naga semuanya
berdinding tepas/ seseg itu terbuat dari bambu tipis yang kemudian dianyam, dan
untuk pemberian warna putihnya tidak menggunakan cat tembok, melainkan
menggunakan kapur putih. Kemudian atapnya terbuat dari daun tepus dan ijuk
warna hitam. Daun tepus di biarkan terbuka berbentuk lembaran dan saling
dikaitkan satu dengan yang lain (ditali), kemudian jika daun-daun tepus
tersebut telah membentang membentuk lembaran yang besar barulah ditumpuk dengan
ijiuk hitam. Perpaduan antara daun tepus dan ijuk tersebut mampu mencegah
masuknya air hujan kedalam rumah. Untuk lantainya terbuat dari kayu, jenis kayu
tersebut adalah kayu alba yang memberikan nuansa “adem” di dalam ruangan. Masing-masing
rumah tersebut memiliki dua pintu masuk dan jendela yang terletak di satu
dinding rumah, pintu pertama menuju ruang tamu, pintu lainnya menembus ruang
keluarga, sampai ke dapur. Pintu-pintu tersebut biasanya berada di utara atau
selatan. Penempatan pintu-pintu tersebut ada alasannya, karena pintu yang
menghadap barat atau timur merupakan jalan masuk bagi orang-orang yang dikubur.
Walaupun
rumah Suku Naga hanya terbuat dari kayu, namun konon katanya menurut masyarakat
Suku Naga dan Kuncen (pemuka adat) rumah tersebut tahan akan gempa. Berbeda
dengan masyarakat pada umumnya, jika ada gempa orang-orang keluar rumah dan
berkumpul di tanah yang lapang dan menghindari bangunan. Sedangkan masyarakat Suku Naga jika ada gempa
mereka justru masuk ke dalam rumah semua, mereka berlindung di dalam rumah
mereka masing-masing karena memang berlindung didalam rumah lebih aman daripada
diluar. Bangunan-bangunan rumah tersebut tahan hingga 40 tahun-an. Makna
filosofi mereka untuk membangun rumah dengan sesederhana mungkin tersebut
berdasarkan keteguhan mereka untuk tidak merusak lingkungan yang telah ada.
Jangankan untuk menembok rumah, menengganti atap dengan genting saja merupakan
pantangan bagi mereka. Karena selain merusak lingkungan, sesungguhnya atap
memiliki fungsi lain yakni untuk melindungi barang-barang kerajinan yang ada di
dalamnya.
Suku
Naga juga memiliki hutan, masyarakat Suku Naga menyebut hutan tersebut dengan
“hutan larangan”. Bukan karena di dalam hutan terebut terdapat hewan buas atau
ada yang dipuja, akan tetapi dikatakan “larangan” karena terdapat larangan
untuk menjamah hutan tersebut. Sehingga tak seorangpun boleh memasukinya. Jika
terdapat pohon yang tumbang, maka pohon tersebut dibiarkan membusuk. Jika
masyarakat Suku Naga membutuhkan kayu untuk memasak maka mereka dapat mengambil
dari ranting pohon atau sisa-sisa tanaman di lading. Semua itu merekalakukan
untuk menjaga kelestarian hutan.
Masyarakat
Suku Naga mayoritas aktivitasnya adalah bertani di sawah dan ladang. Kebutuhan
sehari-hari di masing-masing kepala keluarga dipenuhi oleh laki-laki. Untuk
ketahanan pangan, di masing-masing rumah terdapat lumbung padi untuk menyimpan
hasil panen mereka. Kemudian para ibu membuat kerajinan tangan, yang dijadikan
cindera mata dari Suku Naga. Mereka memanfaatkan lidi dan kayu aren untuk
menjadi bahan dasar pembuatan kerajinan tangan. Kerajinan tangan tersebut
seperti caping (topi terbuat dari anyaman bambu), tas, keranjang, piring dari
lidi. Seruling bambu, sandal dan lain sebagainya. Cindera mata tersebut di
gantung secara rapi di depan rumah mereka, sehingga para wisatawan domestik
maupun asing ketika berkunjung di Suku Naga dapat mampir untuk membeli hasil
kerajinan mereka.
Mempertahankan budaya yang ada di Suku Naga
sangat berat, karena terdapat pengaruh dari luar wilayah Suku Naga. Mengutip
kata dari Kuncen (ketua adat) bahwa, kata kunci untuk mempertahankan budaya
yang telah diturunkan oleh nenek moyang adalah mempunyai landasan adat dan
budaya. “budaya” adalah mempertahankan budaya hidup, bukan mempertahankan gaya
hidup. Jika segala hal berlandaskan atas budaya, maka tidak akan membedakan
agama, etnis, dan sebagainya. Semua ini bukan dijadikan suatu perbedaan, yang
ada hanya kerukunan. Masyarakat Suku Naga sangat bangga dikatakan sebagai
masyarakat yang “primitif” daripada modern, karena mempertahankan budaya yang
ada (primitif) membutuhkan waktu yang tidak sebentar yaitu berabad-abad,
sedangkan untuk menjadi modern hanya membutuhkan waktu dalam hitungan jam saja.
Alam
selalu memberikan tanda, dan alam tidak pernah memberikan bencana kepada kita.
Menurut Kuncen, yang menyebabkan terjadinya bencana adalah dari akhlak. Ada
sebuah falsafah mengatakan demikian “lengik
seringna lengik sangajeng” yang artinya “rusak budayanya rusak negaranya”.
Pemerintah sebenarnya memperhatikan kesejahteraan masyarakat Suku Naga,
pemerintah meberikan listrik dan gas elpiji secara gratis namun atas
kesepakatan bersama dari masyarakat Suku Naga mereka menolak pemberian listrik
tersebut. Penolakan ini bertujuan supaya diantara mereka tidak terjadi
kesenjangan sosial, missal A mampu membeli TV berwana sedangkan B hanya mampu
membeli TV hitam putih, C mampu membeli kulkas sedangkan D tidak. Mereka juga memegang
teguh falsafah kahurun yang dijadikan sebagai pegangan sehari-hari, yaitu hidup
damai dan menjauhi perselisihan. Falsafahnya diungkap dalam bahasa sunda yang
memiliki maknasebagai berikut: walaupun
mendapatkan hinaan mereka berusaha untuk tetap eling (ingat) dan selalu
berusaha untuk menjauhi kehidupan material yang bisa mencelakakan. Tetap rendah
hati, tidak sombong, tidak boleh lebih dari yang lain dan tidak boleh serakah.
Asal
usul mengenai berdirinya Suku Naga ini Kuncen tidak dapat menjelaskannya,
karena mereka telah kehilangan jejak siapa pendiri Suku Naga dan tidak dapat
melacaknya lagi. Kuncen mengatakan bahwa pada tahun 1956 kampung Naga dibakar
oleh gerombolan pemberontak DI/TII. Persembunyian DI/TII terletak di seberang
Suku Naga. Sehingga buku yang mencatat silsilah mereka ikut terbakar.. di Suku
Naga terdapat tiga monumen yang dikeramatkan, yang pertama adalah tempat
persholatan, kedua adalah bekas lumbung yang jika anak laki-laki masuk kedalam
bekas lumbung tersebut pamali, konon katanya jika anak laki-laki bujang yang
masuk kedalam bekas lumbung tersebut maka akan sulit mendapatkan jodoh, dan yang
ketiga adalah bumi ageng yaitu tempat lembaga adat untuk upacara adat jadi
tidak sembarang orang boleh memasuki bumi ageng.
Masyarakat
Suku Naga menganut agama Islam dan mereka masih mempertahankan adat dan tradisi
yang turun temurun. Sebagaimana dalam ajaran Islam, terdapat empat pantangan
yang mengikat kehidupan sehari-hari, yakni: ngawadul
atau berbicara yang tidak ada
gunanya, ngadu atau berjudi, ngamadat atau mabuk-mabukan, dan
ngawadon atau berzina. Barang siapa yang melanggar empat pantangan tersebut
maka sanksinya adalah dikucilkan. Terdapat hari-hari tertentu dimana masyarakat
Suku Naga tidak diperbolehkan untuk membicarakan mengenai kearifan lokal,
dengan kata lain menyepi. Hari-hari tersebut adalah Selasa, Rabu dan Sabtu,
selain hari itu masyarakat boleh beraktivitas seperti biasanya.
Lembaga
adat tidak dibatasi oleh wilayah administratif. Terdapat tiga pemimpin atau
kakolot yang mereka patuhi. Yang pertama adalah Kuncen atau pemuka adat yaitu
orang yang mempunyai wewenang untuk memimpin upacara adat. Pemimpin yang kedua
adalah Punduh atau Kepala dusun yaitu Pak Ma’mun dan yang ketiga adalah Lebe
bernama Pak Jaelani, yakni orang yang mengurus jenazah jika ada warga yang
meninggal dunia. Lembaga adat ini bersifat turun-temurun yaitu dari generasi
laki-laki. Kemudian penentuan masa jabatannya itu selagi pemimpin tersebut selagi
mampu dalam artian sehat, jika masih mampu maka masa jabatannya seumur hidup.
Upacara
adat yang ada di Suku Naga yaitu hari-hari yang berkaitan dengan hari besar
Islam. Seperti Muharam, Nifsu Sya’ban, Idul Fitri dan Idul Adha. Upacara adat
tersebut dilakukan oleh kaum laki-laki, seperti ziarah dan doa bersama dipimpin
oleh Kuncen. Sedangkan ibu-ibu menyiapkan masakan di dapur, mereka membuat
tumpeng untuk dihidangkan bersama. Sementara dalam acara pernikahan bias
dilakukan di hadapan pencatat nikah Islam, setelah itu ada lagi upacara di
hadapan Kuncen. Sistem perkawinan di Suku Naga adalah bebas tapi bersyarat. Ada
dua syarat di dalamperkawinan, yakni syarat utama dan syarat mutlak. Syarat
utama yakni mereka harus sesame agama Islam. Kemudian syarat mutlak yaitu calon
mempelai harus geulis dan kasep ini bertujuan supaya keturunannya bagus. Jika dalam
rumah tangga ada yang mengajukan perceraian, maka diperbolehkan.
Di
Suku Naga kata “pamali” merupakan
kata yang mutlak tidak dapat ditawar lagi. Terdapat beberapa hal yang dapat
dikatakan pamali seperti duduk selonjor
menghadap kiblat, duduk di depan pintu, masuk ke hutan larangan, masuk ke
lumbung padi (bagi anak laki-laki) dan lain sebagainya. Di Suku Naga juga
tidakterdapat pencurian atau tindak kriminal lainnya. Masyarakat Suku Naga juga
tidak menggunakan hak mereka dalam PEMILU (pemilihan umum), mereka tidak
coba-coba dalam memilih wakil rakyat yang mereka kenal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar